Pengertian Politik Etis Lengkap, Isi, Tujuan dan Pelaksanaannya
ads
Pengertian Politik Etis Lengkap, Tujuan dan Pelaksanaannya - Pengertian Politik etis adalah politik yang diperjuangkan untuk mengadakan desentralisasi, kesejahteraan rakyat serta efisiensi (di area jajahan). Politik etis (politik balas budi) terlihat pada th. 1890 atas desakan golongan liberal di dalam parlemen Belanda. Mereka yang berhaluan progresif selanjutnya mengimbuhkan usulan agar pemerintah Belanda mengimbuhkan perhatian kepada masyarakat Indonesia yang udah bersusah payah isi keuangan negara Belanda melalui program tanam paksa.
Hal ini terlihat jelasa adanya asumsi bahwa negeri Belanda sudah berutang banyak atas kekayaan bangsa Indonesia yang dinikmati oleh masyarakat Belanda.
Politik etis merasa dilaksanakan pada 1901 yang berisi tiga tindakan, yakni edukasi (pendidikan), irigasi (pengairan), dan transmigrasi (perpindahan penduduk). Pencetus politik etis (politik balas budi) ini adalah Van Deventer. Van Deventer memperjuangkan nasib bangsa Indonesia bersama dengan menulis karangan di dalam majalah De Gids yang berjudul Eeu Eereschuld (Hutang Budi). Van Deventer telah mengungkapkan bahwa Belanda mempunyai hutang budai untuk rakyat Indonesia. Sebagai gantinya hutang budi harus dikembalikan dengan memperbaiki dan menolong nasib rakyat, mencerdaskan dan memakmurkan bangsa indonesia.
1. Edukasi (Pendidikan)
Pendidikan diberikan di sekolah kelas satu kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berkedudukan atau berharta. Pada 1903 terkandung 14 sekolah kelas satu di ibukota karesidenan dan ada 29 di ibukota Afdeling. Mata pelajarannya, yakni membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, ilmu alam, sejarah, dan menggambar. Pendidikan kelas dua dikhususkan untuk anak-anak pribumi golongan bawah. Pada 1903, di Jawa dan Madura udah terkandung 245 sekolah kelas dua negeri dan 326 sekolah Fartikelir, di antaranya 63 berasal dari Zending.
Adapun jumlah muridnya pada 1892 ada 50.000, pada 1902 ada 1.623 anak pribumi yang studi pada sekolah Eropa. Untuk menjadi calon pamong praja ada tiga sekolah Osvia, masing-masing di Bandung, Magelang, dan Probolinggo. Sedangkan, nama-nama sekolah untuk anak-anak Eropa dan anak kaum pribumi adalah sebagai berikut.
HIS (Hollandsch Indlandsche School) setingkat SD
MULO (Meer Uitgebreid Lagare Onderwijs) setingkat SMP
AMS (Algemeene Middlebare School) setingkat SMU
Kweek School (Sekolah Guru) untuk kaum bumi putra
Technical Hoges School (Sekolah Tinggi Teknik) di Bandung. Pada 1902, didirikan sekolah pertanian di Bogor (sekarang IPB).
2. Irigasi (Pengairan)
Sarana signifikan bagi pertanian adalah pengairan dan oleh pihak pemerintah udah dibangun sejak 1885. Bangunan-bangunan irigasi Berantas dan Demak seluas 96.000 bau, pada 1902 menjadi 173.000 bau. Dengan irigasi tanah pertanian bakal menjadi subur dan produksinya bertambah.
3. Transmigrasi (Perpindahan Penduduk)
Dengan transmigrasi tanah-tanah di luar Jawa yang belum diolah menjadi lahan perkebunan, bakal mampu diolah untuk menaikkan penghasilan. Selain itu terhitung untuk mengurangi kepadatan masyarakat Jawa. Pada 1865 jumlah masyarakat Jawa dan Madura 14 juta. Pada 1900 udah beralih menjadi dua kali lipat. Pada awal abad ke-19 berjalan migrasi masyarakat berasal dari Jawa Tengah ke Jawa Timur sehubungan bersama dengan adanya perluasan perkebunan tebu dan tembakau, migrasi masyarakat berasal dari Jawa ke Sumatra Utara sebab adanya keinginan besar bakal tenaga kerja perkebunan di Sumatra Utara, terutama ke Deli, sedang ke Lampung membawa target untuk menetap.
Politik etis yang dilaksanakan Belanda bersama dengan melaksanakan perbaikan bidang irigasi, pertanian, transmigrasi, dan pendidikan, sepintas kelihatan mulia. Namun di balik itu, target berasal dari program-program ini ditujukan untuk kepentingan Belanda sendiri.
“Negeri Belanda membawa kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran berasal dari masyarakat Hindia Belanda”.
Pidato selanjutnya menandai awal kebijakan memakmurkan Hindia Belanda yang dikenal sebagai Politik Etis atau Politik Balas Budi. Pada dasarnya kebijakan-kebijakan politik etis yang diajukan oleh van Deventer selanjutnya baik. Akan tapi di dalam pelaksanaannya berjalan penyimpangan-penyimpangan yang dilaksanakan oleh
para pegawai Belanda.
Berikut ini penyimpangan-penyimpangan berasal dari pelaksanaan berasal dari politik etis tersebut.
1. Pelaksanaan Dalam Bidang Irigasi
Pelaksanaan di dalam pengairan (irigasi) hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan punya rakyat tidak dialiri air berasal dari irigasi. Dalam bidang irigasi (pengairan) diadakan pembangunan dan perbaikan. Tetapi pengairan selanjutnya tidak ditujukan untuk pengairan sawah dan ladang punya rakyat, tapi untuk mengairi perkebunan-perkebunan punya swasta asing dan pemerintah kolonial.
2. Pelaksanaan Dalam Bidang Edukasi
Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk beroleh tenaga administrasi yang cakap dan murah. Namun di dalam pelaksanaannya pendidikan yang dibuka untuk seluruh rakyat, hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yakni pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya.
3. Pelaksanaan Dalam Bidang Transmigrasi / Migrasi
Migrasi ke area luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-perkebunan punya Belanda. Hal ini sebab adanya keinginan yang besar bakal tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatra Utara, terutama di Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke Lampung membawa target menetap.
Karena migrasi ditujukan untuk mencukupi keperluan bakal tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk menghambat agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale sanctie, yakni aturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri bakal dicari dan ditangkap polisi, kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya.
Migrasi terhitung dilaksanakan oleh pemerintah Belanda bukan untuk mengimbuhkan penghidupan yang layak serta pemerataan penduduk, tapi untuk membuka hutan-hutan baru di luar pulau Jawa bagi perkebunan dan perusahaan swasta asing. Selain itu terhitung untuk beroleh tenaga kerja yang murah.
Jelaslah bahwa pemerintah Belanda udah menyelewengkan Politik Etis. Usaha-usaha yang dilaksanakan baik edukasi, irigasi, dan emigrasi, tidak untuk memajukan rakyat Indonesia, tapi untuk kepentingan penjajah itu sendiri. Sikap penjajah Belanda yang demikian itu udah menyadarkan bangsa Indonesia bahwa penderitaan dan kemiskinan rakyat Indonesia mampu diperbaiki kalau bangsa Indonesia bebas merdeka dan berdaulat.
Mr. P. Brooshoof, redaktur surat kabar De Lokomotif, yang pada th. 1901 menulis buku berjudul De Ethische Koers In de Koloniale Politiek (Tujuan Ethis di dalam Politik Kolonial).
K.F. Holle, banyak menopang kaum tani.
Van Vollen Hoven, banyak memperdalam hukum rutinitas pada lebih dari satu suku bangsa di Indonesia.
Abendanon, banyak mengayalkan soal pendidikan masyarakat pribumi.
Leivegoed, seorang jurnalis yang banyak menulis berkenaan rakyat Indonesia.
Van Kol, banyak menulis berkenaan situasi pemerintahan Hindia Belanda.
Douwes Dekker (Multatuli), di dalam bukunya yang berjudul Max Havelaar, Saya dan Adinda.
Usulan Van Deventer selanjutnya mendapat perhatian besar berasal dari pemerintah Belanda, pemerintah Belanda menerima anjuran berkenaan Politik Etis, tapi bakal diselaraskan bersama dengan sistem kolonial di Indonesia. (Edukasi dilaksanakan, tapi hanyalah untuk mencukupi keperluan pegawai rendahan). Pendidikan dipisahpisah antara orang Belanda, anak bangsawan, dan rakyat. Bagi rakyat kecil hanya ada sekolah rendah untuk mendidik anak menjadi orang yang setia pada penjajah, pandai di dalam administrasi dan mampu menjadi pegawai bersama dengan gaji yang rendah.
Meskipun pemerintah Belanda udah mobilisasi politik etis, senantiasa saja bangsa Indonesia belum mengalami pergantian yang berarti. Politik etis hanya untungkan Belanda, sebab program pendidikan, pengairan dan perpindahan masyarakat yang dicanangkan melalui politik etis dilaksanakan seutuhnya untuk mengimbuhkan keuntungan bagi pemerintah Belanda. Namun di segi lain, tanpa di menyadari oleh Belanda, politik etis ternyata udah melahirkan golongan terpelajar berasal dari kalangan bangsa Indonesia, mereka inilah yang nantinya bakal mobilisasi masyarakat untuk melawan Belanda melalui organisasi pergerakan nasional. Golongan terpelajar ini mengerti bahwa hanya bersama dengan kemerdekaanlah bangsa Indonesia bakal maju, sejahtera dan sejajar bersama dengan bangsa lainnya di dunia.
Hal ini terlihat jelasa adanya asumsi bahwa negeri Belanda sudah berutang banyak atas kekayaan bangsa Indonesia yang dinikmati oleh masyarakat Belanda.
Politik etis merasa dilaksanakan pada 1901 yang berisi tiga tindakan, yakni edukasi (pendidikan), irigasi (pengairan), dan transmigrasi (perpindahan penduduk). Pencetus politik etis (politik balas budi) ini adalah Van Deventer. Van Deventer memperjuangkan nasib bangsa Indonesia bersama dengan menulis karangan di dalam majalah De Gids yang berjudul Eeu Eereschuld (Hutang Budi). Van Deventer telah mengungkapkan bahwa Belanda mempunyai hutang budai untuk rakyat Indonesia. Sebagai gantinya hutang budi harus dikembalikan dengan memperbaiki dan menolong nasib rakyat, mencerdaskan dan memakmurkan bangsa indonesia.
Isi Politik Etis
Isi poitik etis menurut Van Deventer, ada tiga langkah atau disebut terhitung trilogi van deventer untuk memperbaiki nasib rakyat selanjutnya yang isinya sebagai berikut:1. Edukasi (Pendidikan)
Pendidikan diberikan di sekolah kelas satu kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berkedudukan atau berharta. Pada 1903 terkandung 14 sekolah kelas satu di ibukota karesidenan dan ada 29 di ibukota Afdeling. Mata pelajarannya, yakni membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, ilmu alam, sejarah, dan menggambar. Pendidikan kelas dua dikhususkan untuk anak-anak pribumi golongan bawah. Pada 1903, di Jawa dan Madura udah terkandung 245 sekolah kelas dua negeri dan 326 sekolah Fartikelir, di antaranya 63 berasal dari Zending.
Adapun jumlah muridnya pada 1892 ada 50.000, pada 1902 ada 1.623 anak pribumi yang studi pada sekolah Eropa. Untuk menjadi calon pamong praja ada tiga sekolah Osvia, masing-masing di Bandung, Magelang, dan Probolinggo. Sedangkan, nama-nama sekolah untuk anak-anak Eropa dan anak kaum pribumi adalah sebagai berikut.
HIS (Hollandsch Indlandsche School) setingkat SD
MULO (Meer Uitgebreid Lagare Onderwijs) setingkat SMP
AMS (Algemeene Middlebare School) setingkat SMU
Kweek School (Sekolah Guru) untuk kaum bumi putra
Technical Hoges School (Sekolah Tinggi Teknik) di Bandung. Pada 1902, didirikan sekolah pertanian di Bogor (sekarang IPB).
2. Irigasi (Pengairan)
Sarana signifikan bagi pertanian adalah pengairan dan oleh pihak pemerintah udah dibangun sejak 1885. Bangunan-bangunan irigasi Berantas dan Demak seluas 96.000 bau, pada 1902 menjadi 173.000 bau. Dengan irigasi tanah pertanian bakal menjadi subur dan produksinya bertambah.
3. Transmigrasi (Perpindahan Penduduk)
Dengan transmigrasi tanah-tanah di luar Jawa yang belum diolah menjadi lahan perkebunan, bakal mampu diolah untuk menaikkan penghasilan. Selain itu terhitung untuk mengurangi kepadatan masyarakat Jawa. Pada 1865 jumlah masyarakat Jawa dan Madura 14 juta. Pada 1900 udah beralih menjadi dua kali lipat. Pada awal abad ke-19 berjalan migrasi masyarakat berasal dari Jawa Tengah ke Jawa Timur sehubungan bersama dengan adanya perluasan perkebunan tebu dan tembakau, migrasi masyarakat berasal dari Jawa ke Sumatra Utara sebab adanya keinginan besar bakal tenaga kerja perkebunan di Sumatra Utara, terutama ke Deli, sedang ke Lampung membawa target untuk menetap.
Tujuan Politik Etis
Tujuan politik etis adalah memajukan tiga bidang yakni edukasi bersama dengan menyelenggarakan pendidikan, Irigasi bersama dengan membangun fasilitas dan jaringan pengairan, dan terhitung Transmigrasi/ imigrasi bersama dengan mengorganisasi perpindahan penduduk.Politik etis yang dilaksanakan Belanda bersama dengan melaksanakan perbaikan bidang irigasi, pertanian, transmigrasi, dan pendidikan, sepintas kelihatan mulia. Namun di balik itu, target berasal dari program-program ini ditujukan untuk kepentingan Belanda sendiri.
Pelaksanaan Politik Etis
Desakan untuk melaksanakan politik etis mendapat bantuan berasal dari pemerintah Belanda. Dalam pidato negara pada th. 1901, Ratu Belanda, Wihelmina mengatakan:“Negeri Belanda membawa kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran berasal dari masyarakat Hindia Belanda”.
Pidato selanjutnya menandai awal kebijakan memakmurkan Hindia Belanda yang dikenal sebagai Politik Etis atau Politik Balas Budi. Pada dasarnya kebijakan-kebijakan politik etis yang diajukan oleh van Deventer selanjutnya baik. Akan tapi di dalam pelaksanaannya berjalan penyimpangan-penyimpangan yang dilaksanakan oleh
para pegawai Belanda.
Berikut ini penyimpangan-penyimpangan berasal dari pelaksanaan berasal dari politik etis tersebut.
1. Pelaksanaan Dalam Bidang Irigasi
Pelaksanaan di dalam pengairan (irigasi) hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan punya rakyat tidak dialiri air berasal dari irigasi. Dalam bidang irigasi (pengairan) diadakan pembangunan dan perbaikan. Tetapi pengairan selanjutnya tidak ditujukan untuk pengairan sawah dan ladang punya rakyat, tapi untuk mengairi perkebunan-perkebunan punya swasta asing dan pemerintah kolonial.
2. Pelaksanaan Dalam Bidang Edukasi
Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk beroleh tenaga administrasi yang cakap dan murah. Namun di dalam pelaksanaannya pendidikan yang dibuka untuk seluruh rakyat, hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yakni pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya.
3. Pelaksanaan Dalam Bidang Transmigrasi / Migrasi
Migrasi ke area luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-perkebunan punya Belanda. Hal ini sebab adanya keinginan yang besar bakal tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatra Utara, terutama di Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke Lampung membawa target menetap.
Karena migrasi ditujukan untuk mencukupi keperluan bakal tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk menghambat agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale sanctie, yakni aturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri bakal dicari dan ditangkap polisi, kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya.
Migrasi terhitung dilaksanakan oleh pemerintah Belanda bukan untuk mengimbuhkan penghidupan yang layak serta pemerataan penduduk, tapi untuk membuka hutan-hutan baru di luar pulau Jawa bagi perkebunan dan perusahaan swasta asing. Selain itu terhitung untuk beroleh tenaga kerja yang murah.
Jelaslah bahwa pemerintah Belanda udah menyelewengkan Politik Etis. Usaha-usaha yang dilaksanakan baik edukasi, irigasi, dan emigrasi, tidak untuk memajukan rakyat Indonesia, tapi untuk kepentingan penjajah itu sendiri. Sikap penjajah Belanda yang demikian itu udah menyadarkan bangsa Indonesia bahwa penderitaan dan kemiskinan rakyat Indonesia mampu diperbaiki kalau bangsa Indonesia bebas merdeka dan berdaulat.
Pendukung Politik Etis
Pendukung Politik Etis usulan Van Deventer adalah sebagai berikut.Mr. P. Brooshoof, redaktur surat kabar De Lokomotif, yang pada th. 1901 menulis buku berjudul De Ethische Koers In de Koloniale Politiek (Tujuan Ethis di dalam Politik Kolonial).
K.F. Holle, banyak menopang kaum tani.
Van Vollen Hoven, banyak memperdalam hukum rutinitas pada lebih dari satu suku bangsa di Indonesia.
Abendanon, banyak mengayalkan soal pendidikan masyarakat pribumi.
Leivegoed, seorang jurnalis yang banyak menulis berkenaan rakyat Indonesia.
Van Kol, banyak menulis berkenaan situasi pemerintahan Hindia Belanda.
Douwes Dekker (Multatuli), di dalam bukunya yang berjudul Max Havelaar, Saya dan Adinda.
Usulan Van Deventer selanjutnya mendapat perhatian besar berasal dari pemerintah Belanda, pemerintah Belanda menerima anjuran berkenaan Politik Etis, tapi bakal diselaraskan bersama dengan sistem kolonial di Indonesia. (Edukasi dilaksanakan, tapi hanyalah untuk mencukupi keperluan pegawai rendahan). Pendidikan dipisahpisah antara orang Belanda, anak bangsawan, dan rakyat. Bagi rakyat kecil hanya ada sekolah rendah untuk mendidik anak menjadi orang yang setia pada penjajah, pandai di dalam administrasi dan mampu menjadi pegawai bersama dengan gaji yang rendah.
Meskipun pemerintah Belanda udah mobilisasi politik etis, senantiasa saja bangsa Indonesia belum mengalami pergantian yang berarti. Politik etis hanya untungkan Belanda, sebab program pendidikan, pengairan dan perpindahan masyarakat yang dicanangkan melalui politik etis dilaksanakan seutuhnya untuk mengimbuhkan keuntungan bagi pemerintah Belanda. Namun di segi lain, tanpa di menyadari oleh Belanda, politik etis ternyata udah melahirkan golongan terpelajar berasal dari kalangan bangsa Indonesia, mereka inilah yang nantinya bakal mobilisasi masyarakat untuk melawan Belanda melalui organisasi pergerakan nasional. Golongan terpelajar ini mengerti bahwa hanya bersama dengan kemerdekaanlah bangsa Indonesia bakal maju, sejahtera dan sejajar bersama dengan bangsa lainnya di dunia.